Monday, January 26, 2015

Sepotong Kisah Dari Tanah Papua

Saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, rasanya tak ada yang berbeda dari apa yang selama ini aku bayangkan tentang tanah Papua. Kulihat pemandangan yang tak pernah kujumpai di tempat asalku di Jawa Tengah. Hutan hijau yang masih lebat, deretan pegunungan yang tampak di kejauhan,tumbuhan pakis liar di tepi tanah-tanah rawa, babi-babi ternak berkeliaran di pinggir jalan tanpa malu-malu, burung nuri dan kakak tua yang terbang dengan bebasnya. Pemandangan ini begitu memanjakan mata dan pikiranku.

Kulihat wanita-wanita menggendong anak dengan noken (sejenis tas khas Papua) di kepala. Orang-orang berkoteka menggenggam panah di tangan. Anak-anak kecil tanpa alas kaki berjalan menyeret sebilah parang sambil menyeka ingus di hidungnya. Terbersit sedikit perasaan ngeri melihat mereka. Aku mulai khawatir, sanggupkah aku bertahan hidup disini. Namun semua itu seakan sirna seketika segurat senyum manis yang menampakkan deretan gigi putih menyertai sebuah sapaan hangat untukku, "selamat pagi, pak guru".

Tugasku mengajar sebagai guru matematika di SMP Negeri 1 Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua. Hari-hari di sekolah ini kulalui seperti umumnya seorang guru di tempat asalku dulu. Hampir tak ada bedanya. Hanya perlu usaha sedikit lebih keras untuk membuat murid-murid di sini memahami materi yang kusampaikan. Memang kemampuan akademis mereka sangat jauh bila dibandingkan dengan di daerah lain. Butuh dua sampai tiga kali aku mengulang-ulang penjelasan tentang suatu materi yang mungkin tergolong mudah bagi anak-anak SD di Jawa. Namun, mereka memliki semangat belajar yang patut diacungi jempol.

Suasana belajar di kelas VII D SMP Negeri 1 Dekai, Yahukimo, Papua

Menjadi seorang guru di Yahukimo bukanlah hal yang mudah. Namun, semua itu kuanggap sebagai tantangan besar yang semakin lama akan semakin mendewasakanku. Berjalan kaki satu jam dari tempat tinggalku ke sekolah masih sanggup kujalani. Mengulang-ulang materi pelajaran sampai murid-muridku paham tak membuatku bosan. Menu makanan sehari-hari yang seadanya dan itu-itu saja masih bisa kuterima. Panasnya udara kota Dekai pun masih bisa kutahan. Bahkan penyakit malaria yang berulangkali menjangkitiku pun tak mampu memundurkanku. Kerusuhan, perang antar suku, ah itu sudah biasa di sini. Pernah suatu hari aku mendampingi murid-murid mengikuti kejuaraan voli tingkat Kabupaten. Kami sempat terjebak di tengah baku panah antar dua kubu masyarakat yang kebetulan terlibat perang suku di lapangan tempat kami bertanding. Di sekolah pun pernah suatu hari ada sekelompok orang dengan panah dan parang mengamuk dan melempari kami dengan batu hanya karena anak dari salah satu kerabat mereka tidak naik kelas. Rasa takut pastilah ada. Namun, itu semua tidak sedikitpun menggoyahkan semangatku menjalankan tugas ini. Sebuah amanat, pengabdian, dan tanggung jawab yang besar untuk membawa sedikit perubahan bagi negeri ini. Memberi sedikit cahaya harapan untuk mereka yang menggenggam masa depan bangsa ini di tangannya.

Semoga apa yang telah kami lakukan ini, semua pengorbanan ini, tidak menjadi hal yang sia-sia. Walaupun kecil tapi kuharap ini bisa menjadi harapan dan semangat baru buat mereka di sana. Biarlah riak-riak kecil terkumpul menjadi ombak yang menggulung membentuk sebuah gelombang besar yang mampu memecah kerasnya batu karang kebodohan di negeri ini.

“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.” 
― Anies Baswedan, Menteri Pendidikan


Oleh:
Anjar Aditya Pramadita, S.Pd.
Peserta SM-3T angkatan III 
asal LPTK Universitas Negeri Semarang
daerah penempatan Kabupaten Yahukimo, Propinsi Papua

2 comments:

  1. Sungguh sebuah dedikasi dan pengalaman yang sangat luar biasa ya pak :)
    Salam Guru Pantura.

    ReplyDelete
  2. semangat paaa guruu!!!
    kenapa blog nya nggak di update lagi nih?

    ReplyDelete