Tuesday, March 8, 2011

Jangan Salahkan Sang Kodok

Suatu sore saya sedang duduk2 di teras rumah sambil melihat anak2 kecil bermain.  Ya, rumah saya memiliki halaman yang cukup luas, sehingga sering dijadikan sebagai "taman-bermain" oleh anak2 tetangga. Suatu ketika seorang anak berlari mengejar temannya, kemudian ia terjatuh.  Ia pun menangis keras. Ibunya segera datang menghampirinya dan berkata "cup..cup.. jangan nangis.. siapa yang nakal? kodoknya nakal yah? nih, udah ibu pukul kodoknya.." seraya melakukan gerakan seperti memukul di tempat si anak terjatuh.

Peristiwa di atas mungkin terlihat sederhana. Mungkin sudah biasa kita lihat. Atau bahkan kita sendiri juga mengalaminya sewaktu kecil. Namun, siapa sangka sikap itu memiliki dampak yang sangat dahsyat. Tanpa disadari, kata-kata sang ibu tadi terekam dalam memori otak si anak. Usia anak-anak masih sangat peka terhadap informasi yang diterimanya dari luar. Sikap sang ibu tadi bisa saja tertanam dalam diri si anak sebagai ajaran untuk menyalahkan sesuatu atas keburukan yang menimpanya. Bila ia terjatuh, ia akan menyalahkan “kodok” yang sebenarnya tidak ada. Ketika usianya sudah mencapai tahap dimana ia sudah mampu memahami bahwa sang kodok ternyata tak pernah ada saat ia jatuh, bisa saja ia akan menyalahkan apa saja yang ada di sekitarnya, misalnya kursi atau bahkan temannya sendiri. Jika sikap seperti ini dibiarkan terus menerus, bukan hal mustahil ia akan tumbuh menjadi seorang pribadi yang selalu mencari kambing hitam untuk disalahkan atas kondisi tidak menyenangkan yang terjadi pada dirinya.



Ketika kita menimpakan kesalahan kepada orang lain atau benda, maka baru saja kita melakukan argumentum ad hominem.  Sebuah perilaku yang menunjukkan kesalahan logika (logical fallacy) dimana kita menyerang pribadi seseorang atau sesuatu yang tidak ada hubungannya ketika kita menghadapi masalah.  Misalnya, kita datang terlambat ke kampus kemudian kita menyalahkan traffic light yang berwarna merah sehingga menghalangi kita sampai tepat waktu.  Atau ketika kita gagal ujian, kita salahkan hujan yang datang terus menerus.

Secara sederhana, argumentum ad hominem muncul saat ada keinginan untuk menang.  Saat dimana seseorang tidak bisa menerima kenyataan sehingga akhirnya mencari-cari subjek lain untuk dipersalahkan.  Sebuah hal yang wajar ketika semua orang ingin diterima oleh orang lain.  Baik diterima keberadaanya maupun cara berpikirnya.  Yang menjadi masalah adalah ketika mengusahakan penerimaan itu dengan menghalalkan berbagai cara, termasuk dengan merendahkan pribadi orang lain di sekeliling kita.

Kebanyakan orang tua di negeri kita tercinta ini “mengajarkan” anak-anak mereka menjadi “anak kodok”. Efeknya tidak main-main, ajaran kodok ini sedikit banyak telah ikut menyumbangkan peran dalam membangun kerusakan moral bangsa. Nilai-nilai karakter bangsa semakin lama semakin memudar. Bayangkan jika para wakil rakyat yang di atas sana hobinya hanya saling tuding dan menyalahkan. Mau dibawa kemana bangsa ini, jika para pemimpinnya berasal dari golongan anak kodok.

Sekarang, mari kita melihat pada diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk dalam golongan anak kodok yang bisanya hanya menyalahkan. Cuma kita sendiri dan Tuhan yang tahu. Belum terlambat untuk mengubah diri kita, mengubah masa depan bangsa ini, menjadi lebih baik. Tanamkanlah hal-hal yang positif pada anak-anak kita kelak. Berhati-hatilah memberikan pernyataan dan penjelasan kepada anak. Gunakan kalimat yang baik, insya Alloh akan memberi dampak yang positif kepada anak. Amin.

2 comments:

  1. Haha, like-like, bagus
    bisa juga ya kamu bikin artikel kaya gitu...

    ReplyDelete
  2. hahaha.. kau meremehkanku..
    bukan cuma kau yg bisa nulis yah.. ^^

    ReplyDelete